Suami saya adalah seorang dosen tidak tetap di
salah satu universitas di Jakarta. Ia baru saja curhat kekecewaannya
terhadap salah satu asisten dosen, karena menurutnya benar-benar unexpected, seorang asdos yang ber-IPK tinggi di fakultasnya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia resourceful dan
siap untuk mengajar. Komentar saya mula-mula: “Loh, kan memang tidak
ada mata kuliah mengajar, jadi wajar aja kali ya kalau dia ngga
terampil…”. Tapi kemudian suami saya cerita bahwa maksud dia, si asdos
ini tidak komunikatif sama sekali, tidak bisa menantang mahasiswanya
untuk berfikir kritis, sekaligus tidak bisa mengkritisi hasil kerja
mahasiswanya. Menghadapi mahasiswa sangat tidak terampil, dia lebih
banyak diam atau membaca materi presentasinya secara membosankan tanpa
tanda-tanda antusiasme terhadap apa yang dia ucapkan. Pada saat rapat
dosen pun dia membiarkan dirinya invisible, tidak bersuara sama sekali.
“Kok bisa ya IPnya tinggi?” keluh suami saya.
Ilustrasi/Admin (shutterstock)
Sebenarnya
pertanyaan ini sudah klasik. Sering kan kita mendengar: “Dulu waktu
kuliah IPnya tinggi banget, tapi kok pas kerja kayanya ga secemerlang
itu ya?” atau “Padahal dia waktu kuliah cuek banget, ngga pernah
belajar, kali. Cuma sibuk ke sana ke mari. Tapi ngga nyangka, sekarang
sudah bisa jadi Bos.”
Fenomena seperti itu
adalah salah satu indikator lemahnya korelasi antara perguruan tinggi
dengan tuntutan kerja di dunia nyata, di mana teori-teori yang
“kelihatannya” usang masih menjadi andalan pada saat ujian, dihafalkan,
dan kemudian… dilupakan setelah nilai keluar dan A sudah di tangan.
Kelihatannya? Ya, sebenarnya tidak semua teori usang, begitu juga tidak
semua buku musti di-tongsampah-kan karena diterbitkan duapuluh tahun
yang lalu. Tetapi masalahnya terlalu sering dosen, atau guru, tidak
mengaitkan (atau tidak menstimulasi mahasiswanya untuk menganalisis)
antara teori dengan fenomena riil sehingga akibatnya kita hanya menilai
teori tersebut usang, kuno, tidak aplikatif, dan akhirnya: dihafalkan
saja.
Ditambah lagi soal-soal ujian, yang menjadi penentu
nilai mata kuliah dan selanjutnya menentukan IP dan IPK, adalah
soal-soal hafalan. Jadi konsekuensinya, yang IPKnya ‘gede’ adalah
mereka yang rajin menghafal, suka menulis (biasanya kalau soal esai,
jawaban yang panjang-panjang nilainya lebih dari yang cuma beberapa
baris walaupun yang beberapa baris tadi sangat akurat loh J).
Sayangnya, mereka yang analitis, yang kreatif, up-to-date, dan suka
menantang dirinya untuk bereksperimen seringkali tidak terakomodir dalam
sistem pendidikan formal, tetapi menjadi landasan kebutuhan di dunia
kerja atau industri. Mungkin (ya, hipotesis saja) inilah yang
menyebabkan mengapa IPK mahasiswa seringkali tidak dapat mengindikasikan
kesuksesan seseorang dalam dunia kerja.
sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/08/ipk-tinggi-penting/
IPK Tinggi, Penting?Temukan jawabannya disini
9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.